Type something and hit enter

author photo
By On
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. (viva.co.id)
Beritakepo.com. Jakarta - Isu penyadapan terhadap Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus bergulir. Setelah Fraksi Partai Demokrat (PD) mewacanakan hak angket, kini Wakil DPR Fahri Hamzah punya 2 usul soal fenomena penyadapan.

"Saya sudah mewanti-wanti soal ini semenjak pemerintahan pak SBY dulu pernah membuat PP tentang penyadapan. Kalau tidak salah waktu itu menterinya Tifatul Sembiring (Menkoninfo)," ungkap Fahri di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/1/2017), seperti diberitakan Detikcom.

PP Penyadapan yang dibuat SBY menurutnya di-judical review (uji materi) di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh LSM. MK pun memutuskan bahwa penyadapan tidak boleh diatur oleh ketentuan di bawah undang-undang.

"Iya harus dibuat ketentuannya itu selevel undang-undang. Waktu itu saya mendesak pemerintahan pak SBY untuk membuat Perpu tentang penyadapan," kata Fahri.

Dia menyebut penyalahgunaan penyadapan sudah sangat darurat mengingat berkembangnya informasi teknologi dan juga kecanggihan smartphone. Selain itu, Fahri menilai adanya penyimpangan oleh lembaga atau institusi pemerintah dengan alat penyadap.

"Sampai kepada revisi UU ITE di masa pak Jokowi tahun lalu sampai sekarang ketentuan soal penyadapan belum ada, ini adalah sumber kekacauan di dalam penyadapan gimana penyadapan dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting," ujarnya.

"Padahal di mana-mana di seluruh dunia yang namanya penyadapan atau ilegal tapping itu adalah suatu pelanggaran HAM berat yang kita tahu di UU ITE itu hukumannya di atas 10 tahun," lanjut Fahri.

Soal pihak Basuki T Purnama (Ahok) yang menyebut memiliki bukti percakapan telepon antara Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhyono (SBY) dengan Ketum MUI Ma'ruf Amin, dia memiliki dua teori. Pertama adalah membeli atau memanfaatkan institusi atau lembaga yang diperkenankan melakukan penyadapan.

"Atau ada lembaga penjual komunikasi elit, itu sudah biasa alat penyadap dijual secara bebas di mana-mana. Kemungkinan juga ini ada perusahaan yang membeli alat sadap yang berada di luar negeri lalu menjualnya kepada pihak lokal yang memerlukannya," tuturnya.

Pihak Ahok sendiri dalam persidangan tidak menyatakan memiliki bukti rekaman telepon hasil sadapan. Belakangan tim kuasa hukum menyebut bukti yang dimiliki mereka adalah pemberitaan dari media massa.

"Menurut saya itu satu indikasi kuat bahwa di Indonesia itu jual beli percakapan rahasia dari pejabat negara dan orang-orang penting itu dilakukan. Saya kira ini perlu Kita waspadai," beber Fahri.

Untuk itu Fahri berharap agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) soal penyadapan. Sebab menurutnya hanya lembaga resmi lah yang berhak melakukan penyadapan.

"Lalu kemudian bikin Perpu karena ini darurat. Saya ini yang oposisi terhadap metode melakukan sadap untuk menjebak orang dan mencari data orang padahal itu sudah dilarang oleh undang-undang intelijen," sebutnya.

"Kalau terjadi jual beli data di dalam intelijen itu perlu kita waspadai karena intelijen asing dia bisa beli atau tembak dari luar," imbuh Fahri.

Menurutnya, dalam UU Intelijen, presiden diperkenankan menyadap seluruh elit yang ada di Indonesia. Namun tidak boleh diketahui dan hanya boleh didengar dan digunakan oleh presiden.

"Pak Jokowi itu harus menyadap seluruh elit Indonesia tidak ada masalah tapi jangan ketahuan karena itu hanya boleh dipakai oleh Pak Jokowi dalam. Intelijen harus hati-hati dengan datanya jangan sampai bocor," urainya.

Selain mengusulkan soal pembuatan PP dan Perppu, Fahri pun berharap agar DPR membentuk Pansus (Panitia Khusus) Penyadapan. Dengan demikian soal penyadapan bisa ketahuan siapa-siapa saja yang memiliki alatnya.

"Saya mengusulkan DPR membentuk Pansus Penyadapan supaya ini tuntas. Agar siapa yang megang alat sadap di Republik ini ketahuan. Siapa yang menyadap ketahuan, kalau intelijen yang menyadap hanya untuk presiden itu boleh," tutup Fahri.

Click to comment